Tolong dimengerti

Rasa cinta yang jatuh merupakan misteri terbesar. Tak ada satuan pengamanan untuk mencari tahu keberadaannya, tak ada tim investigasi untuk mencari motifnya, tak ada pengacara untuk melakukan pembelaan praduga tak bersalahnya, tak ada dokter ahli dalam penyembuhannya.

Namun ketika rasa cinta sudah lompat bebas jatuh dari batas jurang, siapa yang bisa disalahkan? 

Kita.

Lalu kita bisa menyalahkan siapa?

Hati sendiri.

Setega itu kah aku akan menyalahkan hati sendiri?

Melihat hatiku, seperti melihat Jakarta. Keriuhan dan ketenangan menjadi satu. Terserah siapa yang mau riuh, terserah siapa yang mau tenang. Semua pada ruangannya masing-masing. 

Ketika hatiku jatuh cinta, seperti melihat Jakarta dibanjiri air bah, seperti melihat Jakarta pada jam 5 sore sampai jam 7 malam, seperti melihat Jakarta krisis di bulan Mei tahun 1998. Semua yang riuh, semua yang tenang, berkolaborasi menjadi satu. Kacau balau. Semua panik. Butuh evakuasi. Seperti ingin mati saja. 

Kalau sudah seperti itu, masih tega kah aku lagi-lagi menyalahkan hati sendiri?

Sudah kesekiankalinya hatiku diporak-porandakan, sudah kesekiankalinya hatiku bergelimang ampas, dan sudah kesekiankalinya aku menyalahkan hati sendiri yang sering mencintai orang yang salah.

Hanya bisa berharap, seandainya semua bisa mudah.
Semudah bersalaman lalu saling jatuh cinta. Semudah tatap menatap lalu saling jatuh cinta. 

Seandainya. 


Comments

Popular posts from this blog

Febuari

Dewasa?

Dialog adalah Solusi (Meja Makan)